Selamat Datang di Duniaku

Welcome to My Blog

Buruan gabuuuungg.....

Photobucket

Link Motivasi

Senin, 31 Oktober 2011

Memaafkan Dengan Ikhlas Wujudkan Indahnya Dunia

”Lebih sulit mana memaafkan atau meminta maaf?”. Kami semua berpikir. Bingung. Rasanya sama saja. Banyak di antara kami yang mengatakan lebih sulit ‘meminta maaf’. Namun, guru saya menggeleng. “Memaafkan lebih sulit dari pada meminta maaf” jelasnya.

Sejak itu, saya tahu hakikat memaafkan. Mengapa lebih sulit dibanding meminta maaf? Tentu saja, meminta maaf hanya perkara memiliki kemauan untuk mengungkapkan kesalahan. Tetapi, memaafkan adalah perkara yang lebih rumit. Orang meminta maaf tentu ada sebabnya. Sebab itulah yang mengenai si korban(orang yang akan dimintai maaf). Bayangkan, kalau sebab itu membuat luka yang cukup dalam bagi si korban. Maksud saya, luka disini adalah luka perasaan,sakit hati,dsb yang rupanya tak terlihat secara kasat mata.

Nah, kalau sudah begitu, akan lebih sulit meminta maaf pada orang yang telah kita lukai hatinya, perasaannya. Bisa jadi, ia akan menyimpan luka itu seumur hidupnya. Nah lho? Di suatu kesempatan, saya pernah mendengar seorang ustadz ceramah mengenai maaf-memaafkan. Beliau menjelaskan bahwa ketika kita berbuat salah pada seseorang, dan orang tersebut tidak juga memberikan maaf kepada kita walaupun kita sudah berulang kali meminta maaf, kesalahan yang kita perbuat akan terus di bawa hingga akhirat. Berbeda dengan dosa-dosa kita terhadap Tuhan YME. Kita berdo’a, kemudian diampuni karena Ia memang Maha Pengampun. Itulah sebabnya Allah SWT sangat tegas di dalam al-qur’an terhadap perkara-perkara yang berhubungan dengan muamalah(sesama manusia).

Dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani, mungkin di antara kita pernah suatu kali merasakan ingin sekali membalas dendam terhadap sesuatu, entah itu karena hak kita telah dikurangi,perasaan kita dilukai,dsb. Walaupun beberapa teman kita sudah meminta maaf secara terang kepada kita. Ya, ini adalah salah satu ciri memaafkan tak ikhlas. Balas dendam. Kita merasa perbuatan teman kita di masa lalu ingin kita balas.

Menurut saya, inilah yang salah. Terkadang kita terlalu mendengarkan pikiran-pikiran negatif yang bersemayam di kepala kita. Pikiran-pikiran yang justru membuat jiwa kita lebih kerdil. Kadang kita berpikir,’untuk apa memaafkan, toh saya tetap rugi’. Tidak. Memaafkan justru adalah salah satu kebaikan. Tentunya dengan penuh keikhlasan.

Memaafkan dengan ikhlas berarti kita dengan sepenuhnya memaafkan kesalahan orang lain terhadap kita. Lebih jauh lagi, kita menganggap seperti tak pernah terjadi sesuatu. Tak ada balas dendam. Hubungan kembali seperti sedia kala. Memaafkan dengan ikhlas membuat kehidupan yang kita jalani menjadi lebih indah. Kita akan terus menapaki kehidupan tanpa perasaan-perasaan negatif yang kita pendam yang justru membuat kita menjadi lebih sakit. Memaafkan dengan ikhlas juga akan membuat orang lain tersenyum. Serta turut memperingan hisab orang yang pernah berbuat salah kepada kita kelak di akhirat nanti.

Di kehidupan dunia ini, saya melihat, jika semua orang memiliki hati yang diliputi keikhlasan dalam memaafkan, maka akan terciptanya kehidupan yang jauh lebih indah. Tak ada lagi tindak kejahatan, pembalasan dendam, atau apapun itu. Maksudnya, jika seseorang yang punya salah meminta maaf, kemudian dimaafkan. Orang tersebut beberapa kali kemudia terus berbuat salah pada orang yang sama, namun tetap dimanfaatkan. Bahkan, selalu dianggap seperti tak pernah terjadi sesuatu, lama-kelamaan tentunya orang ini akan jera dan tidak akan berbuat salah lagi. Bayangkan jika di seluruh dunia ada orang-orang seperti itu yang senantiasa memafkan? Dunia ini pasti akan lebih indah. Maaf ikhlasmu, wujudkan indahnya dunia!

Wallahu a’lam bishowab.

Sumber : bang5.blogdetik.com

Kisah Wortel, Telur dan Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api.

Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api.

Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”"Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.

Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.

“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?” Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”

“Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?.”

“Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”

“Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”

“Ada raksasa dalam setiap orang dan tidak ada sesuatupun yang mampu menahan raksasa itu kecuali raksasa itu menahan dirinya sendiri”

Sumber: Dudung

Belajar Cinta Dari Cicak

Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong di antara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor cicak terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah surat.

Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek surat itu, ternyata surat tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.

Apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikit pun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal.

Orang itu lalu berpikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada surat itu! Bagaimana dia makan?

Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan cicak itu. Apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. Kemudian, tidak tahu dari mana datangnya, seekor cicak lain muncul dengan makanan di mulutnya..aahhh!

Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang selalu memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 10 tahun.

Sungguh ini sebuah cinta, cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor cicak itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? Tentu saja sebuah keajaiban. Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. Bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.

JANGAN PERNAH MENGABAIKAN ORANG YANG ANDA KASIHI!

Sumber: dari berbagai artikel

Minggu, 30 Oktober 2011

Tak Pernah Sadar Sampai Pada Waktunya Tiba

Dua orang malaikat berkunjung ke sebuah rumah keluarga kaya. Keluarga itu sangat kasar dan tidak mengijinkan kedua malaikat itu tidur didalam ruang tamunya. Malaikat itu ditempatkan di kamar kecil yg ada di basement. Ketika malaikat hendak tidur, malaikat tua melihat bahwa ada dinding basement yang retak, lalu mereka memperbaikinya.

Malam berikutnya, kedua malaikat itu beristirahat di rumah keluarga petani miskin tapi sangat ramah. Dan petani itu mempersilahkan kedua malaikat itu untuk tidur dikamarnya. Keesokan harinya malaikat menemukan petani itu dan istrinya menangis sedih karena sapinya terbaring mati.

Malaikat yg lebih muda geram dan bertanya pada malaikat yg lebih tua, “mengapa kau membiarkan hal ini terjadi? Keluarga yg kaya itu memiliki segalanya dan engkau membantu menambalkan dindingnya, sedangkan keluarga petani yg miskin ini mengapa kau biarkan sapinya mati?”.

Malaikat yg tua berkata, “Sesuatu tdk selalu kelihatan sebagaimana adanya. Ketika kita bermalam di sana aku melihat emas tersimpan di lubang dinding itu, krn org kaya tsb tamak maka aku menutup lubang dindingnya agar ia tdk menemukan emas itu. Td malam ktk kita tdr di kamar petani miskin itu, malaikat maut dtg mau mengambil nyawa istrinya maka aku memberikan nyawa sapinya shg istrinnya tdk meninggal. Sesuatu tdk selalu kelihatan sebagaimana adanya”.

Kadang2 itulah yg kita rasakan ketika kita berpikir bhw sesuatu tdk seharusnya terjadi. Semua hal yg terjadi adalah demi kebaikan kita. Kita mgkn tdk menyadari hal itu sampai waktunya tiba.

Sumber :http://imslogistics.wordpress.com

Rabu, 26 Oktober 2011

Gaji Ayah Berapa?

Seperti biasa, Arief, seorang Manajer di Pertamina Kantor Pusat – Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9.15 malam. Tidak biasanya, Salsa, putri pertamanya yang baru duduk di kelas 3 SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya, ia sudah menunggu cukup lama.

“Assalaamu’alaikum, hai Salsa. Kok belum tidur?” sapa Arief sambil mencium pipi anaknya.

Biasanya Salsa memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Ayah menuju ruang keluarga, Salsa menjawab,

“Salsa sengaja menunggu Ayah pulang, sebab Salsa mau tanya berapa sih gaji Ayah per jam?”.

“Lho, kok tanya gaji Ayah segala, mau minta uang lagi ya …?”.

“Ah enggak, hanya kepingin tahu saja” jawab Salsa singkat.

“OK, Salsa bisa hitung sendiri ya … Setiap hari Ayah kerja rata-rata 11 jam sehari, 22 hari sebulan dan dibayar Rp. 18.150.000 sebulan. Hayoo … berapa gaji Ayah per jam? Sabtu – minggu kadang-kadang Ayah harus lembur, tapi tidak mendapatkan gaji tambahan karena sudah termasuk dalam gaji bulanan Ayah”.

Memang kalau tidak lembur, Arief sibuk golf sehingga sangat jarang bisa bermain-main dengan Salsa.

Salsa lari ke kamarnya mengambil kertas dan pensil untuk menghitung gaji Ayahnya per jam, sementara Arief berganti pakaian. Belum selesai ganti pakaian, Salsa sudah menyusul ke kamarnya seraya mengatakan

“Gaji Ayah per hari jadi Rp. 825.000,- atau per jam Rp. 75.000,-, benar kan Yah?”, tanya Salsa mencoba meyakinkan kebenaran jawabannya.

“Wah … pintar kamu. Sudah, sekarang sudah malam, ayo cuci kaki lalu tidur”, perintah Arief kepada Salsa. Tetapi, Salsa tak beranjak.

“Ayah, boleh enggak Salsa pinjam uang Rp. 7.500,-?

“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek dan mau mandi dulu. Sekarang, tidurlah”, jawab Arief.

“Tapi Ayah ….”

Kesabaran Arief pun habis, “Ayah bilang tidur!!”, hardiknya mengutkan Salsa.

Anak kecil itupun berbalik dan lari masuk ke kamarnya.

Usai mandi, Arief nampak menyesali dirinya. Ia pun menengok Salsa di kamarnya. Anak kesayangannya itu belum tidur dan didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 30.000,- di tangannya.

Sambil berbaring mengelus kepala anak kecil itu, Arief berkata, “Maafkan Ayah nak, Ayah sayang sama Salsa, tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini?. Kalau mau beli mainan, besok saja kan bisa. Jangankan Rp. 7.500,- lebih dari itupun Ayah belikan”.

“Ayah, Salsa tidak minta uang. Salsa hanya mau pinjam. Nanti akan Salsa kembalikan dari hasil menabung uang jajan Salsa”.

“Iya … iya … tapi buat apa?”, tanya Arief lembut, pingin tahu.

“Besok Salsa libur. Salsa sengaja menunggu Ayah dari tadi. Salsa mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja”, Salsa perlahan menjelaskan.

“Bunda sering bilang kalau waktu Ayah sangat berharga, maka Salsa sengaja pecahkan tabungan Salsa untuk mengganti waktu Ayah, Tapi, ternyata tabungan Salsa hanya Rp. 30.000,-, jadi kurang Rp. 7.500,-, makanya Salsa mau pinjam dulu sama Ayah”, terang Salsa dengan polos.

Arief pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca. Diraihnya Salsa dan dipeluknya erat-erat dengan penuh perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan uang dan harta dari kerja kerasnya di Pertamina yang ia berikan selama ini, tidak cukup untuk “membeli” kebahagiaan anaknya. Betapa selama ini ia menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk bermain, menyayang dan mendidik anaknya. Dan dia bertekad untuk menyediakan waktu yang lebih banyak sesudah ini.

“Bagi dunia, kau hanya seseorang. Tapi, bagi seseorang, kau adalah dunianya …”.

Pertamina tetap berjalan tanpa kau, Arief. Tapi, keluargamu akan sangat kehilangan dan terlunta-lunta tanpa kamu, Arief.

Sumber: Majalah Hadila

Cintai Aku Apa Adanya

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan Saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Dua tahun dalam masa pernikahan,saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

“Mengapa?”, dia bertanya dengan terkejut. “Aku lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan”. Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat ku lakukan untuk merubah pikiranmu?”.

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, “Aku punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati ku, aku akan merubah pikiran ku: Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.

Apakah kamu akan melakukannya untuk ku?” Dia termenung dan akhirnya berkata, “aku akan memberikan jawabannya besok.”. Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan …

“Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan aku untuk menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

” Sayang ketika kamu mengetik di komputer lalu program-program di PC-nya kacau dan akhirnya kau menangis di depan monitor, aku harus memberikan jari-jari ku supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya dan kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu.

Sayang, kamu juga selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki ku supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.

Sayang, kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata ku untuk menunjukkan jalan kepadamu.

Sayang, kamu selalu sakit dan pegal-pegal pada waktu “teman baikmu” datang setiap bulannya, dan saku harus memberikan tangan ku untuk memijat kakimu yang pegal.

Cinta, ketika kamu sedang diam di rumah, dan aku selalu kuatir kamu akan menjadi “aneh”. Maka aku harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.

Cinta, kamu terlalu sering menatap layar kaca TV dan Komutermu serta membaca buku sambil tiduran dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, maka aku harus menjaga mata ku agar ketika kita tua nanti, aku masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.

“Tetapi sayangku, aku tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, aku tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku. Sayangku, aku tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari aku mencintaimu. Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

“Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban ku. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu. Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagia ku bila kau bahagia.”

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.

Aku peluk dia penuh kebahagiaan, oh, kini aku tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai aku lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, padahal tanpa kita sadari Cinta itu telah terwujud dalam bentuk yang lain walau tidak sesuai dengan wujud yang kita harapkan

Seringkali kali kita menuntut Cinta kepada pasangan kita, namun jarang terfikir oleh kita sejauhmana Cinta yang telah kita berikan padanya. Berikan Cinta Kasih yang tulus kepadanya, kalaupun dia belum membalasnya yakinlah Allah pasti akan membalas dan membisikkan CintaNYA kepadanya untuk diberikan kepada kita.

Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.

Di antara keagungan al-Qur’an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur’an, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah:187)

Sumber: dari berbagai artikel

Selasa, 25 Oktober 2011

Cinta Pada Profesi

Bila anda tak mencintai pekerjaan anda, maka cintailah orang-orang yang bekerja di sana. Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan, pekerjaan pun jadi menggembirakan.

Bila anda tak bisa mencintai rekan-rekan kerja anda, maka cintailah suasana dan gedung kantor anda. Ini mendorong anda untuk bergairah berangkat kerja dan melakukan tugas-tugas dengan lebih baik lagi. Bila toh anda juga tidak bisa melakukannya, cintai diri anda. Perjalanan yang menyenangkan menjadikan tujuan tampak menyenangkan juga.

Namun, bila anda tak menemukan kesenangan di sana, maka cintai apapun yang bisa anda cintai dari kerja anda: tanaman penghias meja, cicak di atas dinding, atau gumpalan awan dari balik jendela. Apa saja! Bila anda tak menemukan yang bisa anda cintai dari pekerjaan anda, maka mengapa anda ada di sana? Tak ada alasan bagi anda untuk tetap bertahan. Cepat pergi dan carilah apa yang anda cintai, lalu bekerjalah di sana. Hidup hanya sekali. Tak ada yang lebih indah selain melakukan dengan rasa cinta yang tulus
.

Sumber: unknown

Senin, 24 Oktober 2011

Lamaranmu kutolak

Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya. Melalui ta’aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah.

Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan.

Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi
pertempuran yang sekarang amatlah berbeda. Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka menggenapkan agamanya. Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk ‘merebut’ sang perempuan muda, dari sisinya.

“Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?” tanya sang setengah baya.

“Iya, Pak,” jawab sang muda.

“Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? ” tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.

“Ya Pak, sangat mengenalnya,” jawab sang muda, mencoba meyakinkan.

“Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!” balas sang setengah baya.

Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”

“Lamaranmu kutolak. Itu serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya, keras.

Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda.

Bisiknya sang perempuan, “Ayah, dia dulu aktivis lho.”

“Kamu dulu aktivis ya?” tanya sang setengah baya.

“Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus,” jawab sang muda, percaya diri.

“Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?”

“Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh
berangkat.”

“Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?”

Sang perempuan membisik lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho.”

“Kamu lulusan mana?”

“Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?”

“Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak.”

“Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?”

Bisikan itu datang lagi, “Ayah dia sudah bekerja lho.”

“Jadi kamu sudah bekerja?”

“Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu.”

“Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku.”

“Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?”

Bisikan sang perempuan kembali, “Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya.”

“Rencananya maharmu apa?”

“Seperangkat alat shalat Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf.”

“Tapi saya siapkan juga emas seratus gram dan uang limapuluh juta Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku.”

Bisikan, “Dia jago IT lho Pak”

“Kamu bisa apa itu, internet?”

“Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net.”

“Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok.
Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di
dunia nyata.”

“Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu.”

Bisikan sang perempuan, “Tapi Ayah…”

“Kamu kesini tadi naik apa?”

“Mobil Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”

“Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir”

“Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?”

Bisikan, “Ayahh..”

“Kamu merasa ganteng ya?”

“Nggak Pak. Biasa saja kok”

“Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini.”

“Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!”

Sang perempuan kini berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?”

Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.

“Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?”

Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya,
“Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula.”

Sang setengah baya tersenyum, “Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja,
membacanya saja pun, aku masih tertatih.”

Mata sang muda pun ikut berkaca-kaca.

Sumber: ayonikah.net

Selasa, 18 Oktober 2011

Sakit Hati dan Memaafkan

Penulis : Jamil Azzaini

Ada sebuah racun yang boleh jadi kekuatannya lebih besar daripada racun paling mematikan di muka bumi. Racun ini bisa diproduksi oleh setiap orang, dan uniknya lagi setiap orang bisa mengatur seberapa tinggi kadar mematikan dari racun yang ia ciptakan. Namun, bahayanya, racun ini juga bisa membunuh si pembuatnya tanpa ia sadari. Si pembuat boleh jadi mati dalam artian sesungguhnya. Atau, ia bisa juga tetap hidup, tetapi sejatinya ia bak orang mati, karena kini dirinya terbebas dari rasa bahagia. Racun yang saya maksud adalah “sakit hati”!

Insan SuksesMulia, dalam hidup Anda, pasti ada hal-hal, ada orang-orang yang telah menorehkan luka di hati Anda. Ada sebagian luka yang boleh jadi langsung bisa sembuh dengan sendirinya. Akan tetapi, sebagian sisanya boleh jadi masih ada dan tetap tinggal di hati Anda.

Luka yang tersisa bisa saja mewujud menjadi rasa marah, dendam, dan rasa kebencian yang tidak pernah putus. Atau, luka tadi mewujud menjadi rasa menderita yang tanpa sadar selalu menghantui ke manapun langkah Anda pergi. Hidup Anda pun tidak akan pernah merasa tenang, dan hati Anda tak kunjung merasa tenteram.

“Orang yang lemah tidak akan pernah bisa memaafkan. Memaafkan adalah sebuah atribut yang hanya dimiliki mereka yang kuat,” demikian Mahatma Gandhi pernah berkata.

Dengan kata lain, bukan kemampuan menyimpan kemarahan dan kebencian yang menjadikan Anda sebagai sosok yang kuat. Bukan pula seberapa hebat Anda mampu membalaskan dendam atas luka yang telah Anda rasakan. Bukan. Bukan itu semuanya. Anda adalah sosok yang kuat ketika Anda mau memaafkan, benar-benar memaafkan, bahkan ketika orang yang melukai Anda tidak meminta maaf kepada Anda.

Dengan memaafkan, Anda telah mengijinkan diri Anda sendiri untuk bisa menjalani hidup ini dengan penuh rasa syukur dan bahagia. Andalah yang telah menjebol penjara kemarahan dan penderitaan di hati Anda, karena sesungguhnya Andalah si pemegang kunci atas hati Anda sendiri.

Insan SuksesMulia, mulai saat ini buanglah racun dalam diri Anda. Ganti racun “sakit hati” itu dengan memaafkan dan membuang semua amarah, dendam, dan kebencian ke dalam tempat sampah yang Anda tak ingin kembali mengambilnya.

sumber: kotasantri.com

Robot Pendeteksi Kebohongan

Penulis : Jamil Azzaini

Bila Anda sudah memutuskan untuk menikah, Anda harus mempercayai pasangan hidup Anda. Anda tidak perlu memeriksa SMS atau panggilan yang masuk ke telepon pasangan hidup Anda. Hidup saling percaya adalah anugerah kehidupan.

Begitu pula kepada anak, bila Anda sudah memberikan pondasi pendidikan keagamaan yang kokoh, Anda tak perlu khawatir saat ia mulai remaja. Anda tak perlu diam-diam mencari tahu aktivitas anak Anda. Terbukalah dalam komunikasi dan tak perlu ada dusta. Bila satu dengan yang lain tidak saling percaya, keluarga Anda diambang bencana.

Omong-omong soal saling percaya, mari simak cerita berikut ini.

Alkisah, tersebutlah seorang ayah yang merasa anak dan istrinya sering berdusta. Sehingga, ia tidak lagi mempercayai setiap ucapan anak dan istrinya.

Suatu ketika dia datang ke tempat pameran robot. Di sana ia melihat robot canggih yang bisa mendeteksi kebohongan. Bila ada orang yang berkata bohong, si robot otomatis memukul orang tersebut. Plak!

Tertarik dengan kecanggihan robot itu, dia memutuskan untuk membelinya. Tiba di rumah, dia tak sabar untuk menguji kecanggihan robot tersebut. Kebetulan hari itu anaknya baru pulang setelah larut malam.

“Dari mana kamu?” dia bertanya kepada anaknya sambil melotot.

“Dari belajar, papa,” jawab sang anak. Si robot langsung memukul sang anak. Plak!

“Kamu bohong! Robot ini bisa mendeteksi kebohongan. Ayo dari mana kamu?”

Dengan perasaan takut sang anak menjawab, “Dari nonton, papa.”

Lelaki paruh baya itu melanjutkan pertanyaannya, “Nonton apa kamu?”

“Nonton film perang,” jawab anaknya. Mendengar jawaban sang anak, robot pendeteksi kebohongan kembali memukulnya. Plak!

Sang ayah makin naik pitam. “Kamu bohong lagi, ayo yang benar kamu nonton film apa?”

Sambil terisak anak itu menjawab, “Saya nonton film porno, papa.”

Sambil menunjukkan wajah penuh amarah, ayah itu menghardik anaknya sambil berkata, “Kamu ini anak keterlaluan ya, kecil-kecil sudah nonton film porno. Papa yang sudah setua ini saja belum pernah nonton film begituan!”

Mendengar ucapan tersebut, robot pendeteksi kebohongan langsung memukul lelaki itu. Plak!

Di tengah kegaduhan, tiba-tiba istrinya keluar dari kamar. Melihat lebam-lebam di pipi anaknya, ia pun marah kepada suaminya. “Papa ini bagaimana sih, dia kan sudah remaja, biarkan dia bahagia. Bagaimanapun dia itu anakmu!”

Tanpa diduga, robot pendeteksi kebohongan mendekati perempuan cantik itu, lalu… Plak!

Sumber:kotasantri.com

Senin, 17 Oktober 2011

Kisah Anting dan Ban Sepeda

Penulis : H. Akbar

Di suatu daerah terpencil nun jauh di sana, hidup sepasang suami isteri yang sedang menikmati hari-hari bahagia mereka. Canda ria dan guyonan keluarga yang biasa menjadi bumbu dalamkehidupan berumah tangga sering mereka lakukan. Mereka terlihat begitu menikmati hidup yang penuh ceria, sampai pada suatu saat mereka tersentak oleh suatu keadaan.

Besarnya cinta suami kepada sang isteri menimbulkan semangat ingin membahagiakannya. Ia merasa sedih manakala menatap wajah isterinya. Dalam penglihatannya, wajah cantik sang isteri mendadak memudar begitu dilihat anting-anting yang dipakainya hanya sebelah.

Demikian juga besarnya rasa sayang isteri kepada sang suami membuat ia menaruh perhatian sangat besar. Ia merasa kasihan melihat sepeda satu-satunya milik suami yang menjadi andalannya mencari nafkah tidak bisa dipakai karena bannya hanya satu.

Ide brillian muncul dalam hati suaminya. "Percuma aku punya sepeda kalau bannya hanya satu. Daripada tidak bisa dipakai ngojek, akan aku jual dan hasilnya akan aku belikan anting-anting sebelah untuk menggenapkan yang sudah ada." Dengan maksud membuat surprise kepada isterinya, tanpa pikir panjang ia pun berangkat ke pasar.

Pada saat yang bersamaan, ternyata isterinyapun mempunyai pikiran yang sama. "Daripada memakai anting-anting hanya sebelah, mengapa tidak aku jual saja, dan hasilnya akan aku belikan ban sepeda supaya suami bisa mencari nafkah dengan baik." Iapun bergegas pergi ke pasar, mumpung suaminya sedang tidak ada.

Setelah mereka mewujudkan rencana masing-masing, apa yang terjadi? Mereka berkumpul di rumah dan perbincangan pun dimulai.

"Mas," sang isteri memulai pembicaraan. "Mulai besok kamu sudah bisa mencari nafkah lagi. Saya belikan satu ban sepeda supaya sepedamu bisa dipake ngojek." Suaminya terlihat kaget seraya bertanya, "Dari mana kamu punya uang?" Sang isteri pun memberi penjelasan, "Ban sepeda ini aku beli dari penjualan anting-anting yang sebelah itu. Aku jual karena kalau dipakai juga kurang pantas kalau hanya sebelah."

"Astaghfirullah," timpal suaminya. "Mengapa kamu nggak bilang dulu. Ban sepeda yang satu itu sudah aku jual untuk membeli anting-anting supaya kamu pantas memakainya."

Semuanya terdiam. Sesekali mereka menarik nafas panjang. Cita-cita mereka ingin membahagiakan pasangan belum bisa diwujudkan akibat keinginan mereka tidak dikomunikasikan terlebih dahulu.

Cerita di atas bisa saja terjadi pada diri kita jika kita tidak mau terbuka dan berterus terang kepada pasangan kita. Komunikasi dan bermusyawarah merupakan unsur penting dalam membangun kebahagiaan, apakah itu kebahagiaan pribadi, rumah tangga, keluarga, maupun dalam konteks yang lebih luas.

وَ شَاوِرْهُمْ فِى اْلاَمْرِ

"Dan musyawarahkanlah urusan itu dengan mereka."

Sumber: kotasantri.com

Antara Ayah, Anak dan Burung Gagak

Pada suatu petang, seorang tua bersama anak mudanya yang baru menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka.

Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting pohon berhampiran. Si ayah lalu menuding jari ke arah gagak sambil bertanya, “Nak, apakah benda itu?”

“Burung gagak”, jawab si anak.

Si ayah mengangguk-angguk, namun sejurus kemudian sekali lagi mengulangi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi, lalu menjawab dengan sedikit kuat, “Itu burung gagak, Ayah!”

Tetapi sejurus kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama.

Si anak merasa agak keliru dan sedikit bingung dengan pertanyaan yang sama diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih kuat, “BURUNG GAGAK!” Si ayah terdiam seketika.

Namun tidak lama kemudian sekali lagi sang ayah mengajukan pertanyaan yang serupa hingga membuat si anak hilang kesabaran dan menjawab dengan nada yang kesal kepada si ayah, “Itu gagak, Ayah.” Tetapi agak mengejutkan si anak, karena si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanya hal yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar hilang sabar dan menjadi marah.

“Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah bertanya soal hal tersebut dan saya sudah juga memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya katakan? Itu burung gagak, burung gagak, Ayah,” kata si anak dengan nada yang begitu marah.

Si ayah lalu bangun menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang kebingungan. Sesaat kemudian si ayah keluar lagi dengan sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih geram dan bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.

“Coba kau baca apa yang pernah Ayah tulis di dalam diary ini,” pinta si Ayah.

Si anak setuju dan membaca paragraf yang berikut.

“Hari ini aku di halaman melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon berhampiran. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya, “Ayah, apa itu?”

Dan aku menjawab, “Burung gagak.”

Walau bagaimanapun, anakku terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku kelak.”

Setelah selesai membaca paragraf tersebut, si anak mengangkat muka memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu. Si Ayah dengan perlahan bersuara, ”Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak 5 kali, dan kau telah hilang kesabaran serta marah.”

Lalu si anak seketika itu juga menangis dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya memohon ampun atas apa yang telah ia perbuat.

Sumber: kotasantri.com

Kamis, 13 Oktober 2011

Memaafkan Orang Lain

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Jikalau kita larut dalam kebencian dan tenggelam dalam kedendaman, sehingga waktu kita habis hanya untuk mendramatisir sebuah masalah yang menimpa kita. Andaikata, kita membenci seseorang berarti kita telah siap untuk mewakafkan hidup kita dan pikiran kita untuk terus memikirkan dia. Kebahagiaan kita akan tersita bahkan kita tidak bisa makan dan tidur karena memikirkan dia sedangkan dia mungkin sudah tertidur pulas.

Akankah, kita gadaikan kehidupan kita dengan perasaan dendam dengan penuh kebencian. Kalau saja kebencian itu membahagiakan dan menjadi solusi, silahkan untuk benci!, tapi yang terjadi kebencian yang melanda kita justru hanya akan menghancurkan cara berpikir kita, melumatkan raut wajah kita, membuat kotor tutur kata kita, membuat gelisah batin kita, membuat tidak sehat kehidupan kita, akhlak kita melorot menjadi hina buah dari kebusukan hati yang melanda diri ini.

Oleh karena itu jangan sia-siakan hidup kita hanya dengan menjadi seorang pendengki dan pendendam, jadilah seorang yang pemaaf, percayalah seorang pemaaf Insya Allah hidupnya lebih ringan. Bukankah kita ingin menikmati hidup ini? Saudaraku, kenikmatan hidup tidak akan dimiliki oleh orang yang hatinya diselimuti kebencian dan perasaan dendam. Memaafkan orang lain itu indah, sehingga kita Insya Allah akan merasa lapang, itulah derajat orang-orang yang mulia. Wallahu a’lam.


Rabu, 12 Oktober 2011

Belajar Memahami

Penulis: Achmad Fachrie

Manusia adalah makhluk yang unik. Unik dalam segala hal yang terperinci. Tidak ada manusia yang sama dihidup ini, bahkan orang kembar sekalipun, mereka pasti memiliki perbedaan. Selalu ada beda yang terselip di antara manusia. Dan biasanya perbedaan tersebut menjadi sebuah tantangan dalam sebuah hubungan baik antar sahabat, pasangan, dan keluarga.

Kebanyakan dari kita mengawali hubungan dengan menggunakan dan membawa sudut pandang pribadi masing-masing. Dan ketika sebuah hubungan sudah terjalin, maka di situlah terbangun satu tujuan yang sama, pemahaman yang sama. Karena kita cenderung dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan. Walau sama-sama memiliki kesamaan, suatu saat akan menampilkan perbedaan yang mungkin menggeserkan kesamaan tersebut.

Ketidaksamaan itu yang kita sebut perbedaan. Perbedaan yang memperlihatkan adanya selisih antara kita dengan orang lain. Selisih dalam arti sama halnya dengan matematika. Pertambahan dan pengurangan. Ketika kita bertemu dengan orang yang memiliki kelebihan dengan kita, maka kita menemukan selisihnya dengan kekurangan kita. Begitu juga sebaliknya, karena setiap orang tidak ada yang sempurna, masing-masing membawa sisi yang menyilaukan dan kelam yang pada akhirnya bertujuan menggenapkan pribadi kita.

Tapi, kerapkali perbedaan itu benar-benar menjadi selisih. Selisih yang memperselisihkan. Ketika beda yang hadir tak mampu diterima. Ketika beda yang hadir menginterupsi ketidaknyamanan kita. Memang ketika hal tersebut hadir, mungkin serasa sulit merintangi dalam kebersamaan. Ah, maka ruang belajar perlu selalu dihadirkan dalam setiap beda. Karena beda, terkadang adalah suatu hal yang belum kita pahami secara menyeluruh.

Beda, bisa menjadi pelengkap, bisa pula menjadi pemisah. Yang membuat berubah fungsi dari perbedaan itu adalah menempatkan di ruang mana ia berada pada posisi kita. Berhati-hatilah meletakkan perbedaan itu pada ruang yang mencolok, lalu melahirkan ketimpangan, ketidakseimbangan. Tapi, jika beda ditempatkan pada ruang yang tepat, maka ia melahirkan keseimbangan dan menjadi pelengkap yang justru menyempurnakan dan menguatkan.

Belajar memahami bukanlah suatu hal yang mudah. Karena manusia, cenderung untuk mengeluarkan ego masing-masing. Kesadaran memiliki tujuan yang sama yang mampu mengakrabi keegoan tersebut untuk diredakan bahwa langkah kita seirama, tujuan kita serupa, dan tak seharusnya terpisah. Maka, yuk kita jalan ke sana.

Teringat yang dikisahkah oleh Ust. Fauzil Adhim dengan istrinya. Beliau berdua adalah pasangan yang memiliki karakter yang berbeda. Dari kemampuan hingga kekata, karena memang keduanya lahir dari latar belakang yang berbeda. Pernah suatu ketika, istri beliau berkata, “Bunuh lampu itu!” Ust. Fauzil Adhim yang mendengar kata “bunuh” awalnya mewujud kaget. Karena kekata tersebut tidak lazim digunakan selama beliau tumbuh dan berkembang. Tapi perlahan, dengan meluaskan pengertian dan berbagi pemahaman mewujud kemampuan belajar memahami antara beliau berdua. Keseimbangan dan keharmonisan jiwa pun tercipta. Subhanallah.

Ada beda-beda yang mungkin bisa menjadi berubah, tapi ada pula beda-beda yang lebih baik menjadi apa adanya. Layaknya pakaian, masing-masing kita pun memiliki ukuran yang berbeda. Tidaklah mungkin mengukur badan orang lain dengan badan kita sendiri. Ya, kita memiliki ukuran-ukuran yang tidak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Ada kalanya manusia adalah tetap apa adanya. Bukan untuk dibandingkan, bukan untuk dipaksa berubah. Ada sisi-sisi yang tetap menetap karena memang sudah mendarah daging sejak dini. Kemampuan memahamilah yang mampu membawa beda tersebut menjadi potensi yang teroptimalkan dalam kebersamaan.

Ah, lihatlah sehabis hujan menyemarakkan. Mereka adalah pelangi. Layaknya pelangi, mereka warna-warni, mereka berbeda-beda. Tapi masing-masing warnanya tidak saling mencolok. Mereka berada pada komposisi warna yang sama. Apa jadinya jika di salah satu warna pelangi itu mencolok dibanding yang lainnya. Bisa jadi tidak mewujud pelangi, mungkin malah seperti cat yang tumpah tak karuan.

Kerikil pasti akan menguji atas sebuah kebersamaan. Layaknya ujian, hadirnya hanyalah untuk mengetahui apakah kita layak untuk naik tingkat. Jika kita berhasil melalui kerikil yang pertama, maka ada sejenis kemantapan yang semakin menguatkan. Tapi, kerikil kedua, ketiga, dan seterusnya akan berada di depan untuk kembali menguji. Eratkan jalinan jiwa, bahwa semua bisa dilalui bersama.

Ya, begitulah perbedaan. Membutuhkan kemampuan untuk belajar memahami. Bukan hanya sekali, bukan hanya dua kali. Tapi berkali-kali. Karena beda selalu mungkin akan tiba-tiba mengejutkan dan mengagetkan dalam perjalanan kebersamaan. Tapi ia bukan untuk dihindari, bukan untuk ditakuti. Ia untuk diterima, diayomi, lalu ditumbuhkembangkan agar menjadi harmonisasi yang menyeimbangkan dan menguatkan di antara kita.


Selasa, 11 Oktober 2011

Aku Jatuh Cinta PadaMu

Oh, kasih yang agung

Seluruh diriku terselimuti oleh Mu

Segala yang tampak oleh mataku

Tampak seperti wujud Mu

Sajak di atas adalah kutipan dari sajak tokoh sufistik dari daratan Turki yang terkenal, Nashrudin Hoja. Seorang arif yang sering digambarkan dengan kejenakaannya. Karena untuk ukuran para pencinta Tuhan, baginya tidak ada lagi kesedihan dan kekhawatiran. Hidup adalah perwujudan ibadah yang hakiki, sehingga suasana apapun adalah bagian dari anugrah yang diterima dari kekasih sejati. Jika datangnya dari Sang Kekasih bagaimana mungkin hati akan enggan menerimanya. Oleh karenanya, beliau sering tampil dengan kesahajaan dan penuh humor yang menggelitik.

Filosofi cinta memang tidak terlepas dari pengharapan akan pertemuan dengan wujud yang dicinta. Maka manifestasi cinta adalah ”kegilaan” akan segala hal terhadap yang dicinta. Setiap hal yang berkaitan dengan sang kekasih selalu saja menggetarkan jiwa dan perasaan pencinta. Seorang pemuda tergetar hatinya karena pandangannnya tertumbuk sekuntum mawar merah, hanya karena dirinya tahu bahwa sang kekasih sangat menyukai mawar merah. Dengan demikian dirinyapun tersihir oleh nuansa hati dari sang kekasih.

Seorang dara yang menginjak usia dewasa berdesir kalbunya tatkala dia pandangi ”sepasang sandal” butut tergeletak di serambi masjid, hanya karena dia sadar bahwa sandal tersebut adalah milik pujaan hatinya. Hati gadis tadi terselubungi sensasi kebahagiaan karena keberadaan pujaan hati.

Sekuntum mawar merah dan sepasang sandal butut tidaklah akan berarti penting seandainya tidak berkaitan dengan orang-orang yang dicinta. Setiap hal menjadi berarti karena hubungannya dengan orang-orang yang dicinta. Para pencinta mengenal sesuatu lebih bermakna karena hubungan percintaan yang tak terpisahkan.

Sebutan-sebutan bagus dan puji-pujian adalah bagian perwujudan hati yang bercinta. Jadi jangan heran bila mereka yang bercinta sangat senang menyebut-nyebut nama sang dicinta. Adalah pencinta yang sesungguhnya bila setiap hal yang datang dari Sang Dicinta selalu saja diterima dengan suka cita. Bahkan orang awam menggambarkan, ”cubitan” dari kekasih tidaklah terasa pedihnya. Sungguh agung kecintaan itu.

Kecintaan akan menghapus berbagai kekurangan dan menutupi keburukan. Kecintaan mendorong sebuah pengorbanan. Kecintaan adalah kebahagiaan untuk yang dicinta.

Jadi, bila seorang Nashrudin melihat sesuatu selalu tampak sebagai wujud kekasih adalah ungkapan dari dalamnya rasa cinta beliau. Seorang pencinta Tuhan selalu menghadirkan wujud Tuhannya dalam setiap majelisnya. Jadi, sudahkan kita mencintaiNya, sedang hati ini sering tidak tergetar bila ayat-ayatNya dibacakan. Berapa kali kita menyebut namaNya dalam hembusan nafas kehidupan ini. Juga, seberapa berat pertimbangan kita dalam bertemu dan berpisah yang didasari karena kecintaan padaNya. Kepada orang-orang yang kita cintai, orang tua, suami, isteri, anak-anak, kawan, tetangga, calon istri, calon suami atau setiap makhluk, kita selayaknya memulainya dari kecintaan kepadaNya. Jadi, karena aku jatuh cinta padaMu, maka kecintaan itu mengejawantah dalam kehidupan ini.

Sumber: Buletin KJKS BINAMA th 2008

oleh: Kartiko A. Wibowo

Jumat, 07 Oktober 2011

Akuntansi = Pajak

Dalam dunia perdagangan atau manufaktur, persediaan merupakan aset yang dianggap material dan merupakan penentu harga pokok suatu produk. Dalam PSAK No. 14 (sebelum revisi) metode pencatatan persedian ada 3 yaitu:
1. FIFO atau Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP)
2. LIFO atau Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP)
3. Average atau rata-rata

Diantara ketiga metode diatas, metode LIFO adalah metode yang paling banyak memicu perdebatan sejak tahun 2009. LIFO adalah sebuah metode arus biaya persediaan yang mengikuti arah urutan terjadinya biaya atau lebih dikenal dengan istilah Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP). Ketika sebuah perusahaan menerapkan metode ini, maka harga pokok yang terjual berdasarkan harga pembelian yang terakhir. Metode ini membuat nilai persediaan tidak sesuai dengan harga pasar wajar.

Dalam dunia perpajakan, disebutkan bahwa penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata (average) atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama (FIFO). LIFO juga memiliki kecenderungan menghasilkan laba yang paling kecil dibandingkan dengan dua metode lainnya. Jadi sudah jelas bukan, mengapa metode LIFO menjadi perdebatan dan dalam dunia perpajakan tidak mengakui pencatatan dengan metode LIFO.

Namun sejak PSAK Nomor 14 direvisi (tahun 2008), perdebatan tersebut sudah tidak muncul lagi karena pilihan metode yang semula dapat dilakukan dengan 3 metode, kini hanya boleh dilakukan dengan dua metode saja yaitu FIFO dan Average. Sedangkan untuk LIFO di eliminasi dari metode tersebut. Jadi sekarang antara akuntansi dan perpajakan sudah bisa berjalan dengan selaras, dan bolehlah kita berkata jangan ada LIFO diantara kita...

Semoga info ini bermanfaat....

Sumber : Indonesian Tax Review dan sumber lainnya